Sengketa Irian Hampir Picu Perang Dunia Libatkan Soviet AS dan NATO: Begini Faktanya

- 17 Juni 2022, 12:29 WIB
Sengketa Irian Barat Hampir Picu Perang Dunia, Begini Faktanya
Sengketa Irian Barat Hampir Picu Perang Dunia, Begini Faktanya /kostrad.mil.id/

MEDIA PAKUAN - Kedaulatan Indonesia seutuhnya dicapai setelah 4 tahun perlawanan terhadap Belanda. Tidak seperti negara lain, pembebasan negara jajahan Inggris misalnya, kebanyakan karena diberikan jalan untuk merdeka ataupun mendirikan negara baru.

AS yang berupaya untuk menekan pengaruh komunis Uni Soviet, pada saat itu sudah membentuk NATO pada 4 April 1949.

Setelah berperang selama 4 tahun, pada Desember 1949 , Belanda mengakui kedaulatan Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda, kecuali Papua.

Baca Juga: Kapal Angkut 30 TKI Ilegal Tenggelam di Perairan Batam, 7 Orang Dinyatakan Hilang

Belanda menilai bahwa pulau Papua dan suku-suku yang mendiaminya, memiliki kebudayaan tersendiri, yang berbeda dengan wilayah Indonesia lainnya.

Washington yang saat itu memberikan dukungan sepenuhnya terhadap Belanda, membuat Presiden Soekarno harus segera bertindak untuk membebaskan Papua, yang saat itu disebut sebagai Irian Barat.

Soekarno pun melakukan beberapa cara, namun selalu menemui kegagalan, mulai negosiasi langsung dengan Belanda, hingga upayanya menggalang dukungan di PBB.

Clarice Van den Hengel, seorang peneliti dan ahli Indonesia yang tinggal di Den Haag, mengatakan “Pada awalnya, ini adalah upaya yang sia-sia, AS dan NATO yang mendukung Belanda, sedangkan Stalin tidak peduli dengan Indonesia yang berada jauh di khatulistiwa," katanya.

Baca Juga: Tujuan Malaysia, Kapal Pengangkut 30 TKI Ilegal Tenggelam di Perairah Laut Pulau Putri Batam

Presiden RI pertama itu kemudian memutuskan untuk melakukan misi pribadinya untuk berkunjung ke Moskow, pada tahun 1956.

Di Moskow, Soekarno membahas sengketa negaranya dengan Belanda, yang kemudian disebut sebagai Sengketa Irian Barat.

Gayung bersambut, pemimpin Soviet Nikita Khrushchev, yang mendukung gerakan anti kolonialisme di Asia dan Afrika, merespon dan mengumumkan dukungannya terhadap Indonesia, yang saat itu berupaya mendapatkan dukungan di PBB.

Upaya tersebut mulai menemukan titik terang setelah Moskow mempersenjatai Indonesia, dengan satu kapal penjelajah, 14 kapal perusak, delapan kapal patroli anti kapal selam, 20 kapal rudal, beberapa kapal torpedo bermotor dan kapal meriam, serta kendaraan-kendaraan lapis baja dan amfibi, helikopter, dan pesawat pengebom.

Baca Juga: Penghuni Surga, Kisah Seorang Pelacur Bani Israil: Simak Ini yang Terjadi Padanya

Pada tahun 1960, dengan persenjataan Soviet, Indonesia memulai kebijakan untuk melakukan konfrontasi dengan Belanda

Sejak saat itu aktivitas militer Indonesia terus meningkat di wilayah sengketa Irian Barat, sampai pertengahan tahun 1962.

Angkatan Udara RI mulai beroperasi di pulau-pulau sekitar Irian Barat, dengan pesawat pengebom Tupolev Tu-16 Soviet, yang dilengkapi dengan misil antikapal AS-1 Kennel/KS-1 Kome, untuk mengantisipasi serangan kapal HNLMS Karel Doorman, Belanda.

Konfrontasi yang meningkat antara Indonesia dan Belanda melibatkan kombinasi tekanan diplomatik, politik, dan ekonomi, serta kekuatan militer yang terbatas.

Baca Juga: Crimes of the Future Film Horror yang Mengerikan, Akankah Indonesia Ikut Rilis?

Jika terjadi konfrontasi militer berskala penuh, maka akan memaksa AS untuk campur tangan untuk membantu anggota NATO lainnya.

Lalu menteri luar negeri Indonesia saat itu Subandrio yang fasih berbahasa Rusia, terbang ke Moskow untuk meminta dukungan Soviet.

Dalam memonya Nikita Khrushchev bertanya “Saya bertanya kepada Subandrio, Seberapa besar kemungkinan kesepakatan dengan Belanda bisa tercapai’,” tulis Khruschev.

Subandrio menjawab "Tidak terlalu besar. Namun jika Belanda tidak bisa bersikap rasional dan memilih operasi militer, ini akan menjadi perang pada batas tertentu, bisa berfungsi sebagai medan pembuktian bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat tempur yang dilengkapi dengan rudal. Kita akan melihat bagaimana rudal kami bekerja,” jawabnya.

Baca Juga: Crimes of the Future Film Horror Garapan David Cronenberg Dikenal Film paling 'Menjijikan'

Percakapan tersebut seharusnya bersifat rahasia. Namun menurut memo Khrushchev, Subandrio mengungkapkan hasil pembicaraannya itu kepada AS, yang sama sekali tak ingin terjebak dalam krisis lain yang berpotensi menjadi Perang Dunia.

Situasi benar-benar berubah ketika Indonesia dipersenjatai oleh Soviet akhirnya memaksa Belanda untuk bernegosiasi di meja perundingan.

Pada Agustus 1962, di bawah tekanan AS, Belanda akhirnya menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Hingga pada 1963, wilayah Irian Barat diserahkan kepada Indonesia.

Van den Hengel mengatakan momen tersebut menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Irian Barat.,” katanya.

“Selain ingin menghindari konfrontasi langsung dengan Uni Soviet, AS tidak ingin terlihat bahwa negaranya tampak mendukung penjajah Eropa melawan negara dunia ketiga yang baru merdeka,” katanya.

Baca Juga: Kemenag Tanggapi Adanya 30 Sekolah Terafiliasi Khilafatul Muslimin

Ia menambahkan “Belanda telah kalah berperang dengan rakyat Indonesia, tidak ada yang berani berurusan dengan tentara Indonesia yang dilengkapi dengan senjata modern," ungkapnya

Pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) referendum tahun 1969, rakyat Irian Barat memilih bergabung dengan Indonesia.

Walaupun dibantah oleh pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh AS, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.

Namun sejak itu Belanda telah membentuk sekelompok orang yang menentang penggabungan wilayah Papua dengan Indonesia.

Unsur-unsur ini kemudian membentuk gerakan separatis yang hingga kini masih aktif di Papua. ***

Editor: Popi Siti Sopiah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah