PETANI MERADANG! Pemerintah Secara Sepihak Impor 1 Juta Ton Beras, SPI: Perlu ada Lembaga Khusus Pangan

- 15 Maret 2021, 13:30 WIB
Seorang petani mengeringkan padi di Kecamatan Sinaboi, Rokan Hilir, Riau, Kamis (4/3/2021). Produksi padi nasional tahun 2020 sebesar 55,16 juta ton gabah kering giling atau mengalami surplus 556,51 ribu ton naik 1,02 persen (YoY) dibandingkan produksi tahun 2019 sebesar 55,60 juta ton, kenaikan produksi padi tersebut didukung dengan penambahan lahan panen seluas 108,93 ribu hektar menjadi 10,79 juta hektar. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/hp.
Seorang petani mengeringkan padi di Kecamatan Sinaboi, Rokan Hilir, Riau, Kamis (4/3/2021). Produksi padi nasional tahun 2020 sebesar 55,16 juta ton gabah kering giling atau mengalami surplus 556,51 ribu ton naik 1,02 persen (YoY) dibandingkan produksi tahun 2019 sebesar 55,60 juta ton, kenaikan produksi padi tersebut didukung dengan penambahan lahan panen seluas 108,93 ribu hektar menjadi 10,79 juta hektar. ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/hp. /Aswaddy Hamid/ANTARA FOTO
 
 
 
 
 
MEDIA PAKUAN - Pemerintah berencana akan melakukan impor beras sebanyak satu juta ton melalui penugasan perusahaan Bulog, hal ini untuk memenuhi kebutuhan di tahun 2021. 
 
Selain akan melakukan impor beras, pemerintah juga telah membuka kemungkinan untuk melakukan impor komoditas lainnya, seperti gula dan daging.
 
Menanggapi ini, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menyayangkan kebijakan pemerintah tersebut.
 
Pemerintah dinilai menerapkan kebijakan yang sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan keberlangsungan petani saat ini tengah menghadapi panen raya.
 
Menurut Henry, kebijakan pemerintah tersebut mengabaikan situasi pertanian dalam negeri dan akan mengakibatkan petani semakin tertekan.
 
 
 
"Rencana impor beras mengabaikan situasi saat ini yang sedang dihadapi oleh petani di dalam negeri," ujarnya seperti dikutip dari situs SPI pada Senin, 15 Maret 2021.
 
Ia menyebut bahwa saat ini berbagai wilayah di Indonesia akan memasuki masa panen raya. 
 
"Tidak hanya itu, petani tanaman pangan khususnya padi, sedang dihadapkan dengan kondisi merosotnya harga gabah yang sangat merugikan petani," tandas Henry.
 
Seharusnya, sambung Henry, pemerintah fokus mengatasi hal ini terlebih dahulu daripada buru-buru mengambil kebijakan impor.
 
"Seperti di Tuban, harga gabah hanya Rp3.700. harga ini dibawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan pemerintah yaitu Rp4.200," tuturnya.
 
Kondisi yang sama juga terjadi di sejumlah wilayah lainnya di Indonesia, seperti Nganjuk, Banyuasin, dan Aceh. Harga di tingkat petani berada di bawah HPP.
 
Ia mengatakan, rencana impor beras memperlihatkan belum beresnya masalah sinkronisasi kordinasi kelembagaan pengelolaan pangan. 
 
 
 
Kondisi seperti ini sering kali terjadi berulang, padahal diketahui bersama bahwa Kementerian Pertanian mengklaim keadaan beras surplus hingga Mei 2021.
 
Sementara disisi lain, Kementerian Perdagangan malah mengambil keputusan untuk melakukan impor pangan. Sehingga ujungnya petani yang dirugikan.
 
"Karenanya pembentukan lembaga pengelola urusan pangan di Indonesia menjadi sangat penting dan mendesak. Yaitu lembaga yang memiliki otoritas kebijakan pangan di Indonesia," katanya.
 
Lebih jauh Henry menjelaskan, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas pangan diprediksi akan mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya. 
 
BPS juga menyebutkan bahwa potensi produksi padi priode Januari hingga April 2021 diperkirakan dapat menghasilkan gabah kering giling sebanyak 25,37 juta ton.
 
Yang artinya produksi beras pada priode Januari-April 2021 berpotensi mencapai 14,54 juta ton beras. Jumlah ini naik 3,08 juta ton daripada tahun 2020 lalu.
 
"Maka rencana impor beras harus dikaji lebih jauh, sebab akan berdampak pada petani. Ingat, sektor pertanian masih jadi andalan dan mampu bertahan selama pandemi Covid-19," jelasnya.
 
Henry menambahkan, saat ini tidak ada kebijakan yang strategis untuk membangun kedaulatan pangan di Indonesia.
 
Karena pemerintah belum juga membentuk badan pangan nasional yang secara khusus mengurus kebijakan pangan sebagaimana mandat undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan.
 
"Dan hal ini tercantum dalam visi pemerintahan Jokowi, dalam mewujudkan kedaulatan pangan, dan pelaksanaan reforma agraria, yang sejalan dengan undang-undang pangan," tambahnya.***
 
 
 
 
 
 
 

Editor: Ahmad R

Sumber: spi.or.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x