Myanmar: Sehari Setelah Kudeta, Wai Wai Nu Seorang Rohingya Ungkap Kisah Pilu Kekejaman Aung San Suu Kyi

- 3 Februari 2021, 11:17 WIB
SEORANG gadis muda Rohingya duduk di kamp transit pada 8 September 2020 setelah hampir 300 migran Rohingya mendarat di pantai di Lhokseumawe di pantai utara pulau Sumatera, Indonesia.*
SEORANG gadis muda Rohingya duduk di kamp transit pada 8 September 2020 setelah hampir 300 migran Rohingya mendarat di pantai di Lhokseumawe di pantai utara pulau Sumatera, Indonesia.* //AFP

MEDIA PAKUAN- Kegojalak semakin memanas pasca militer Myanmar melancarkan kudeta dan menahan Aung San Suu Kyi.

Para pemimpin Barat mengutuk kudeta oleh militer Myanmar terhadap pemerintah yang terpilih secara demokratis Aung San Suu Kyi.

Terkait kudeta Myanmar ini bukan pertama kalinya kudeta yang dilakuan militer di Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma.

Baca Juga: Krisis Masker dan Vaksin! AS Amankan Pasokan Industri untuk Menangani Wabah Pandemi Covid-19

Hal ini yang menyisakan kepedihan faktanya banyak orang, ini mengingatkan pada terjadi di akhir 1980-an.

"Rasanya seperti deja vu, seperti kita kembali ke titik awal," kata seorang warga berusia 25 tahun Wai Wai Nu, seperti yang dikutip BBC.

Inilah kisah pilu yang dialami seorang Wai Wai Nu.

Baca Juga: Harga Perak Meroket Tembus Level Tertinggi 15 Persen , Dipicu Borongan Serupa GameStop

Ketika usia lima tahun Wai Wai Nu ayahnya diculik di depan matanya, ayahnya merupakan seorang aktivis politik berafiliasi dengan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Ayahnya dibawa kedalam truk dengan tangan dibrogol dan entah kemana di bawa perginya.

" Saya tumbuh dengan rasa takut terus menerus menghatui," tuturnya.

Baca Juga: Tahun Baru Imlek, akan Menjadi Keberuntungan Presiden Jokowi, Shio Kerbau Logam Membawa Ketegasan Lebih

" itulah mengapa saya menjadi tumbuh sebagai seorang yang penakut karena tiap hari selalu ada tentara diluar, itulah yang membuat saya masih bisa membayangkan ayah saya diambil dari saya. Saya ingat kami akan memasang earphone dan mendengarkan radio dengan sangat lembut."

Wai Wai - yang merupakan seorang Rohingya, salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di negara itu - mengatakan ayahnya selalu dikejar.

Saat itu ayahku sudah dibebaskan sebulan setelah penculikan itu.

Baca Juga: Berikut Ranking Bulutangkis Dunia! Hanya Ganda Putra Indonesia Diperingkat 1, Selebihnya China dan bwf

Ketika Wai Wai berusia 10 tahun, keluarganya memutuskan untuk pindah ke ibu kota Yangon (Rangoon).

"Saya melihat sedikit lebih banyak kebebasan di Yangon," katanya. "Di Rakhine, mayoritas penduduk adalah Rohingya tetapi di Yangon, lebih multikultural dengan bahasa yang berbeda. Tetapi banyak orang di Yangon tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang terjadi dengan etnis minoritas."

Saat itu, kehidupannya tampak cukup normal.

Baca Juga: Harus Ekstra Hati-hati! Hujan akan Mengguyur Kota Sukabumi Pagi hingga Petang

"Kami akan pergi ke sekolah lalu pulang. Di sekolah, saya ingat kami harus menyambut jenderal yang berbeda dan memberi penghormatan kepada mereka. Sistem pendidikannya sederhana, propaganda militer."

Tapi kemudian, ketika dia berusia 18 tahun, ayahnya menjadi sasaran lagi, dan seluruh keluarga dimasukkan ke dalam penjara, di mana mereka tinggal selama tujuh tahun.

Kejahatannya? Menjadi putri seorang aktivis politik.

Baca Juga: Luar Biasa! Honda Hybrid 2021,Tampil Bagus Aman dan Terjangkau

Setelah dibebaskan, dia melanjutkan ke universitas dan hari ini bekerja sebagai aktivis hak asasi manusia, berkampanye terutama untuk persamaan hak bagi perempuan dan untuk Rohingya.

"Saat tumbuh dewasa, negara bagian Rakhine miskin tetapi tidak buruk, orang masih bisa menjalankan bisnis mereka," katanya. "Tidak seperti sekarang ini."***

 

Editor: Popi Siti Sopiah

Sumber: BBC


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah