Utang Negara Mencapai Rp6.074 Triliun, Segini Target di Tahun 2021

- 19 Februari 2021, 14:47 WIB
Ilustrasi Utang Negara.
Ilustrasi Utang Negara. /Pixabay/PublicDomainPictures

MEDIA PAKUAN - Bedasarkan data Kementerian Keuangan, tercatat utang negara oleh pemerintah hingga akhir Desember 2020 mencapai Rp6.074,56 triliun.

Dengan demikian, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 36,68 persen. Bahkan, pemerintah kembali menargetkan utang baru pada 2021 sebesar Rp1.177,4 triliun.

Sebagian besar utang ini didapat melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) sebesar Rp1.207,3 triliun.

Baca Juga: Hari Peduli Sampah Nasional, Walkot dan Polres Sukabumi Lakukan Jumsih

Sejumlah kalangan saat ini tengah menyoroti soal utang negara yang terus ditambah oleh pemerintah. Selain itu, defisit yang dialami Pemerintah Indonesia juga menjadi sorotan.

Sebelumnya, atas sorotan publik ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat memberikan respon bahwa posisi utang pemerintah pusat mengalami peningkatan disebabkan oleh pelemahan ekonomi akibat Covid-19.

Serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional. Menkeu juga menjelaskan bahwa negara lain juga mengalami hal yang sama.

Baca Juga: Prajurit TNI Terus Jadi Korban, PKS Desak Pemerintah Segera Atasi KKB di Papua

Menanggapi hal ini, anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati mengatakan, defisit APBN akan semakin lebar, sebagai akibat dari ekspansi fiskal untuk menyelamatkan perekonomian di saat pandemi.

Hal ini terlihat dengan adanya pelebaran defisit fiskal dari 2,2 persen pada tahun 2019, menjadi 6,3 persen pada tahun 2020.

"Dan diperkirakan masih akan defisit sebesar 5,7 persen di tahun 2021. Tetap perlu kehati-hatian dalam melaksanakan kebijakan defisit ini," katanya melalui siaran pers yang diterima Media Pakuan Jum'at, 19 Februari 2021.

Baca Juga: MASIH TERTIMBUN! Hari Keenam TNI-Polri Fokus Cari Satu Orang Korban Tanah Longsor Nganjuk, Jawa Timur

Lebih lanjut Anis menjelaskan, terkait primary balance Indonesia dalam beberapa tahun ini tercatat negatif, yang artinya pemerintah sedang menjalankan kebijakan gali lubang tutup lubang.

"Pemerintah menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang lama. Hal ini tentu bukan pertanda baik untuk keberlangsungan fiskal Indonesia," jelasnya.

Di tengah pandemi, primary balance Indonesia semakin memburuk. Pada tahun 2020 diperkirakan mencapai minus 4,3 persen dan pada tahun 2021 mencapai minus 3,59 persen.

"Pemerintah harus mewaspadai lampu kuning dari semakin besarnya negatif primary balance ini, agar fiskal Indonesia lebih sustain untuk tahun-tahun mendatang," ujarnya.

Baca Juga: Lowongan Kerja di Kemenko Perekonomian Februari 2021: Butuhkan Tenaga Pendukung Teknis Analis!

Anis memaparkan bahwa pada masa pra-pandemi, debt to GDP ratio Indonesia terus meningkat dari awalnya 24 persen pada tahun 2014 menjadi 30,2 persen di tahun 2019.

Meningkatnya debt to GDP ratio menunjukkan bahwa selama periode tersebut penambahan utang lebih tinggi dibandingkan penambahan PDB.

Yang artinya, utang pemerintah Indonesia selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB secara nasional. Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting semua pihak.

"Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus. Ini berarti Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang," paparnya.

Baca Juga: Sebelum Cair Bansos Kemensos Februari 2021, Cek NIK di dtks.kemensos.go.id, Pastikan Anda Terdaftar

Kendati defisit merupakan langkah normal di saat resesi, sambung Anis, pihaknya turut memberikan catatannya terkait sebagian besar defisit APBN yang dibiayai utang. Semakin lebar defisit, semakin besar juga utang.

Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir mencapai Rp10 hingga Rp30 triliun tiap tahunnya.

"Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang," tambahan.

Baca Juga: JANGAN TERKECOH Isu Pencairan BLT BPJS Ketenagakerjaan Termin 3 Februari 2021, Cek Faktanya Disini!

Anis menuturkan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).

Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.

"Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional," pungkasnya.*** (Samsun Ramlie) 

Editor: Siti Andini

Sumber: dpr.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah