Warga Gaza Semakin Terpuruk, Kini Berjuang Keras Mencari Makan dan Minum: Dibayang-bayangi Serangan Udara

- 6 Januari 2024, 14:01 WIB
Asap mengepul di atas Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, terlihat dari Israel selatan, 30 Desember 2023.
Asap mengepul di atas Gaza, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, terlihat dari Israel selatan, 30 Desember 2023. /Reuters/Amir Cohen/
 
 

MEDIA PAKUAN - Semakin hari situasi krisis di Gaza semakin memprihatinkan, terutama bagi warga seperti keluarga Abu Jarad yang tengah berjuang keras untuk mencari makanan dan air agar bisa bertahan hidup.

 
Dulu tinggal di rumah yang nyaman di Gaza utara bersama sembilan anggota keluarganya, kini mereka harus terdampar di sudut Gaza bagian selatan, tinggal di tenda kecil di atas lahan berpasir yang dipenuhi sampah.
 
Dampak perang Israel-Hamas selama tiga bulan telah membuat keluarga Abu Jarad, bersama dengan warga lainnya, menjadi pengungsi.
 
Adapun Awatif Abu Jarad, salah satu anggota keluarga, mengatakan jika setiap anggota keluarga turun tangan dalam tugas sehari-hari.
 
 
Dimulai dengan mengumpulkan ranting hingga menjelajahi pasar kota untuk mencari sayuran. Namun, usaha mereka yang maksimal belum mampu menutupi keputusasaan yang mereka rasakan.
 
Setiap hari mereka harus berjuang agar bisa mendapatkan makanan, air, obat-obatan, dan bahkan akses ke kamar mandi yang berfungsi.
 
Bahkan sampai sekarang keadaan semakin diperparah oleh ketakutan akan serangan udara Israel dan meningkatnya ancaman penyakit.
 
 Pengeboman dan invasi darat Israel ke Gaza, yang telah berlangsung selama 13 minggu, memaksa hampir seluruh warga Palestina bergerak menuju kota selatan Rafah di sepanjang perbatasan Mesir.
 
Populasi Rafah yang semula sekitar 280.000 jiwa kini melonjak menjadi lebih dari 1 juta jiwa dalam beberapa hari terakhir, menurut badan PBB untuk pengungsi Palestina.
 
 
Bahkan banyak orang tinggal di apartemen yang membuat sesak karena penuh,sementara ribuan tenda nilon bermunculan di sebelah barat kota. Beberapa bahkan harus tidur di lantai berlapis nilon untuk menghemat ruang.
 
Nouman, saudara laki-laki Awatif, bersama keluarganya, harus tidur di tenda yang mereka beli dengan harga 276 dolar AS atau sekitar Rp 4,2 juta. 
 
Disisi kondisi perekonomian yang dipacu oleh perang di Rafah, harga tenda keluarga yang lebih besar kini berkisar antara 800 dolar AS hingga 1.400 dolar AS. 
 
Saat pagi mereka harus memasak makanan seadanya dan kemudian mencari air agar bisa mencuci.
 
Awatif dan keluarganya harus mengumpulkan air dari pipa umum di dekatnya, meski air tersebut hanya dapat digunakan untuk mencuci karena tidak layak untuk diminum. 
 
 
Bahkan mereka harus mengantri berjam-jam di salah satu tanker air minum untuk mendapatkan air bersih dengan harga satu shekel per galon.***
 
 

Editor: Ahmad R

Sumber: PRMN


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x