"Upah (guru honorer) 100 ribu, sekarang 600 ribu. Kalo dibilang cukup ya gitu apalagi saya punya anak masih kuliah semester 6, satu lagi laki laki baru 9 tahun," ujarnya.
Dia pun memutar otak untuk mendapat penghasilan tambahan. Alhasil dia berjuang dengan membawa dagangan cilok ke tempatnya mengajar dengan tujuan supaya dibeli oleh anak anak dan guru yang ada di sana.
"Selain bawa makanan ke sekolah untuk kebutuhan di rumah juga. Ibu bukan kerja di sini aja, bikin cilok dijualin lagi ke madrasah. Ngajar juga di madrasah," cetusnya.
Di sisi lain, Yayan merasa sedih terhadap tempatnya mengajar, SDN Suradita. Yaitu ketika melihat perjuangan siswa siswi harus jalan kaki menembus hutan setiap hari menuju ke sekolah.
Selain tempat tinggal para siswa banyak yang terdampak bencana pergerakan tanah, setibanya di sekolah, mereka harus menghadapi masalah yang sama yaitu belajar di tempat sementara.
Sesampainya di sekolah, bangunan tempat kegiatan belajar mengajar pun jauh dari kata layak. Lantai tanah, dinding bilik bambu, dan penerangan yang minim menjadi fasilitas yang harus diterima murid SDN Suradita sehari-harinya.
Mulai awal tahun 2023, aktivitas KBM harus dilakukan di dalam gubuk bambu dikarenakan bangunan sekolah yang lama rusak berat akibat terdampak bencana pergerakan tanah.
Para siswa dan pihak sekolah pun saat ini memiliki harapan yang sama yakni menunggu bangunan tetap yang layak untuk SDN Suradita.***