Sebelum sampai pada pernyataan sikap yang akan disampaikan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata.
Melainkan juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.
Pertama, dari sudut pandang normatif.
Adalah benar Pasal 299 ayat (1)
UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak
melaksanakan kampanye.
Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat
(1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang
terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan
Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Pelaksanaan
Kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang
memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus
dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
Bagaimanamungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah
satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?
Baca Juga: Menyoal Penyataan Jokowi, Sultan HB X Diam Seribu Bahasa, Pengamat: Selamat Datang Di Dunia Terbuka
Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden
dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak
merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan
dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.
Kedua.