Yang artinya, utang pemerintah Indonesia selama ini belum cukup produktif untuk mendorong PDB secara nasional. Hal ini tentu perlu menjadi catatan penting semua pihak.
"Meningkatnya debt to GDP ratio yang mencapai 37 persen di tahun 2020 dan diperkirakan menjadi 41 persen pada tahun 2021, merupakan sinyal kurang bagus. Ini berarti Pemerintah akan kesulitan mengendalikan laju utang di masa yang akan datang," paparnya.
Baca Juga: Sebelum Cair Bansos Kemensos Februari 2021, Cek NIK di dtks.kemensos.go.id, Pastikan Anda Terdaftar
Kendati defisit merupakan langkah normal di saat resesi, sambung Anis, pihaknya turut memberikan catatannya terkait sebagian besar defisit APBN yang dibiayai utang. Semakin lebar defisit, semakin besar juga utang.
Hal ini tercermin dari besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) selama 5 tahun terakhir mencapai Rp10 hingga Rp30 triliun tiap tahunnya.
"Untuk memaksimalkan pertumbuhan, tentu utang harus digunakan. Tetapi yang sering terjadi adalah pemerintah justru gagal membelanjakan uang," tambahan.
Baca Juga: JANGAN TERKECOH Isu Pencairan BLT BPJS Ketenagakerjaan Termin 3 Februari 2021, Cek Faktanya Disini!
Anis menuturkan, pelebaran defisit ini disebabkan oleh tingginya anggaran Penyelamatan Ekonomi Nasional (PEN).
Akan tetapi, data terakhir menunjukkan bahwa realisasi anggaran PEN hingga akhir tahun 2020 belum maksimal, hanya sebesar 83 persen.
"Hal ini tentu merugikan, karena utang yang sudah ditarik pemerintah, gagal dimanfaatkan untuk penyelamatan ekonomi nasional," pungkasnya.*** (Samsun Ramlie)