Pasokan Persenjataan Rusia Digunakan Myanmar untuk Menyerang Penduduk Sipil: Pengaruhi Perang Ukraina?

25 Januari 2023, 01:30 WIB
Pemimpin Junta Militer Myanmar, Min Aung Hlaing /Reuters/Lynn Bo Bo/Pool

MEDIA PAKUAN - Penulis senior dan konsultan strategis asal Swedia, Bertil Lintner, dalam sebuah artikel Asia Times mengemukakan bahwa Rusia sedang memainkan pedang bermata dua yang berbahaya di Myanmar.

Pasokan senjata Rusia ke Junta Militer Myanmar dimulai sekitar tiga puluh tahun lalu, saat para jenderal yang memerintah, mengurangi ketergantungan perangkat militernya dari China.

Beijing yang berada di bawah sanksi Barat, memulai mengisi kebutuhan dalam negerinya, usai pemberontakan nasional di negara itu pada tahun 1988.

Baca Juga: Rusia Miliki Hubungan Diplomatik dengan Palestina dan Afghanistan, Tapi Tidak dengan Lima Anggota PBB ini

Moskow untuk pertama kalinya menjual empat jet tempur MiG 29 ke Myanmar pada tahun 2001, kemudian mengirim sepuluh lagi pada tahun 2002.

Rusia menjual helikopter tempur Hind Mi 35, helikopter angkut Mi 17, pesawat terbang darat Yak 130, kendaraan lapis baja ringan, senapan mesin berat dan peluncur roket.

Myanmar juga telah mengirimkan 5.000 tentara dan ilmuwan ke sekolah militer Rusia sejak awal 1990-an.

Pemimpin junta Jenderal, Min Aung Hlaing, dikabarkan telah tiga kali mengunjungi Rusia, sejak kudeta 1 Februari 2021.

Presiden Vladimir Putin juga mengakui Min Aung Hlaing sebagai perdana menteri dan mendukung junta sebagai pemerintah sah Myanmar.

Baca Juga: Capres Ceko, Andrej Babis Nyatakan Tidak Akan Kirim Pasukan Pertahanan NATO, Polandia dan Baltik Berang

Kepada menteri pertahanan Rusia pada bulan Juni 2021, Min Aung Hlaing mengakui bahwa militernya menjadi yang terkuat di wilayah itu, berkat persenjataan Rusia.

Junta Militer melancarkan serangan udara terhadap penduduk sipil, melawan kelompok anti-kudeta dan pemberontak, yang sebagian besar menggunakan persenjataan Rusia.

Myanmar setidaknya memiliki 20 jet Yak 130, untuk menjatuhkan bom di kantong perlawanan dan penduduk sipil, yang menurut kelompok HAM adalah kejahatan perang.

November lalu Myanmar juga menerima hingga enam Sukhoi Su 30, instruktur militer dan teknisi Rusia, yang terlihat di lapangan terbang di Myanmar.

Pakar menilai ketergantungan Myanmar ke Moskow, akan berpengaruh signifikan terhadap perang, misalnya di Ukraina, apakah Rusia akan memiliki cukup perangkat keras dan suku cadangan militer untuk diekspor ke pelanggan jauh seperti Myanmar.

Para analis menilai jika Moskow mengalami masalah dalam pengiriman, para jenderal Myanmar terpaksa menelan harga diri dan kembali ke Beijing untuk mendapatkan senjata militer dan kebutuhan lainnya.

Myanmar adalah satu-satunya negara yang memberikan akses bagi China, langsung ke Samudera Hindia. Sementara Rusia hanya tertarik dengan penjualan uang senjata dan komersial lainnya.

Myanmar memang bukan satu-satunya negara Asia Tenggara yang membeli peralatan militer dari Rusia, ada Vietnam, Indonesia, dan Malaysia. Tapi kesepakatan  dengan Moskow lebih jauh dari hanya penjualan senjata.

Para Jenderal Myanmar menganggap Cina terlalu dekat dan tidak melupakan bahwa komunisme di Beijing memberikan bantuan militer besar-besaran di Myanmar selama 1968-1978.

Meski dirasa tidak strategis, Rusia dan Myanmar, pada International Airways 2023, mengumumkan akan mengoperasikan penerbangan langsung antara Yangon ke tiga kota Rusia di timur jauh seperti di Vladivostok, Novosibirsk, dan Krasnoyarsk.

Namun banyak pihak menilai tidak mungkin jika untuk tujuan komersial, seperti kunjungan wisatawan Myanmar, dimana mereka tidak akan berlibur di Siberia yang begitu dingin.

Perjanjian tersebut cenderung untuk kepentingan militer, dimana di kota-kota Rusia terdapat fasilitas pelatihan dan instalasi militer penting.***

Editor: M Hilman Hudori

Tags

Terkini

Terpopuler