Kisah Julaibib, Gelandangan Buruk Rupa Yang Menikahi Putri Seorang Bangsawan

- 28 Oktober 2021, 15:39 WIB
Ilustrasi gelandangan
Ilustrasi gelandangan /
MEDIA PAKUAN - Sebuah kisah pada zaman para nabi, di mana kisah ini mengandung hikmah yang luar biasa. Yaitu kisah salah satu sahabat nabi yang biasa dipanggil Julaibib. Secara fisik, tak ada yang menarik dalam diri Julaibib.
 
Postur tubuh yang kecil, wajah yang buruk, kulit hitam legam, serta berpenampilan lusuh. Bahkan, Julaibib tak mengenal siapa ayah ibunya. 
 
Mungkin orang tuanya malu mendapati anak seperti dirinya, lalu membuangnya. Ia sering luntang-lantung di Madinah dan hidup seperti gelandangan.
 
 
Julaibib adalah julukan untuknya yang berarti “orang yang berjubah sangat kecil”. Kendati ia kurang beruntung dari segi fisik, Julaibib termasuk di antara sahabat Nabi yang saleh. 
 
Ia selalu berada di saf terdepan dalam shalat maupun di medan jihad. Suatu kali, Rasulullah SAW menyapanya. “Tidakkah engkau ingin menikah, wahai Julaibib ?” tanya Rasul. 
 
Julaibib pun tahu diri. Siapalah gerangan manusia yang mau menikahkan putrinya dengan seorang gelandangan lagi buruk seperti dirinya?
 
 
Namun tampaknya Rasulullah SAW sungguh-sungguh dengan ucapannya. Rasulullah SAW menanyakan hal yang sama tiga kali. Tapi tetap ditepis oleh Julaibib. 
 
Pada kali ketiga, Rasulullah SAW bertekad akan menikahkan Julaibib. Rasulullah Saw tak hanya sekadar bertanya, tapi langsung mengapit lengan Julaibib dan membawanya melamar seorang gadis. 
 
Tak tanggung-tanggung pula, yang dituju adalah rumah salah seorang pemimpin kaum Anshar.
 
“Aku ingin menikahkan putri kalian,” pinta Rasulullah Saw kepada salah seorang pemimpin Anshar tersebut. Sang tuan rumah mengira, Rasulullah SAW lah yang akan menjadi menantu mereka. Dengan wajah bahagia, mereka menyambut Rasulullah Saw dengan suka cita.
 
 
“Bukan untukku. Ku pinang putri kalian untuk Julaibib,” timpal Rasulullah SAW. Ayah si gadis langsung terpekik. Bahkan Julaibib sendiri pun merasa minder yang teramat sangat. Sedemikian nekatkah Rasulullah ingin memperistrikan dirinya yang buruk rupa itu dengan putri seorang bangsawan ?
 
Lalu diberitahukanlah perihal lamaran itu kepada si gadis. “Apakah ayah dan ibu hendak menolak permintaan Rasulullah SAW ? Demi Allah, kirim aku padanya. Jika Rasulullah Saw yang meminta, maka pasti beliau tidak akan membawa kehancuran dan kerugian bagiku,” tegas si gadis yang salehah.
Ia kemudian membacakan firman Allah :
 
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
 
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS Al-Ahzab: 36)
 
 
Akhirnya, menikahlah Julaibib yang miskin, buruk rupa, dan tak punya nasab tersebut dengan gadis salehah anak seorang bangsawan. 
 
Inilah yang dipahami oleh Mazhab Maliki, bahwa definisi kufu (kesetaraan antara suami istri) bukanlah soal materi, kedudukan, dan harta benda. Melainkan kufu ketakwaan dan kesalehan keduanya.
 
Kisah ini mengajarkan para sahabat ketika itu dan umat Nabi Muhammad SAW, bahwa di mata Allah SWT semua manusia sama. Yang membedakan derajat mereka hanyalah ketakwaan saja. 
 
Rasulullah SAW bersabda :
 
*إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ*
 
“Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada bentuk-bentuk dan harta-harta kalian. Akan tetapi, Allah melihat kepada hati-hati dan amalan-amalan kalian.” (HR. Muslim)
 
 
Janganlah seseorang merasa malu, minder, dan rendah diri lantaran keterbatasan fisik atau perkara ekonomi.
 
Tak ada alasan pula untuk berputus asa dari rahmat Allah SWT lantaran ditakdirkan dalam kondisi serba keterbatasan. 
 
Jika dari segala keterbatasan tersebut bisa melahirkan seorang Muslim yang saleh, maka dialah yang lebih mulia di sisi Allah.
 
*وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ*
 
"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139)
 
Kisah Julaibib juga memberi pelajaran bagi orang beriman untuk tidak membeda-bedakan saudara mereka karena fisik atau faktor ekonomi. Dalam memilih teman, sahabat, hingga jodoh, hendaklah mengedepankan faktor kesalehan dibanding faktor-faktor yang lain.***

Editor: Siti Andini


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x