Jokowi Berikan Pernyataan Kontroversi, PP Muhammadiyah Bereaksi: Desak Presiden RI Cabut Pernyataannya

- 28 Januari 2024, 11:55 WIB
Beredar Kabar Sikap PP Muhammadiyah tentang Pernyataan Kontroversi Presiden Boleh Memihak dan Kampanye
Beredar Kabar Sikap PP Muhammadiyah tentang Pernyataan Kontroversi Presiden Boleh Memihak dan Kampanye /Dok. tangkapan layar dokumen tertulis/

MEDIA PAKUAN - Pasca Presiden RI Joko Widodo kembali membuat kontroversi melalui pernyataannya, Rabu 24 Januari 2024 lalu menyebut presiden dan menteri boleh kampanye, boleh berpihak.

Secara lengkap, Jokowi bernarasikan menyatakan: "Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh lho memihak,"

Akhirnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah bereaksi atas pernyataan Jokowi tersebut. Melalui Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan penyataan sikap.

Tidak hanya mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan. Terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.

Baca Juga: Usai Jokowi Tegas Dukung Paslon 2, Tagar Mengapa Harus Pilih Anies Trending di Medsos

Tapi pernyataan Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang ditandatangani Ketua Dr. Trisno Raharjo, S.H, M.Humdan dan Sekretaris Muhammad Alfian Dj, S.H.I., M.H NB, meminta Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara.


Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial. Terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.

Selain itu, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitifitasnya dalam melakukan pengawasan.

Terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun
tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu.

Selanjutnya, menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, utamanya terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu
kontestan tertentu.

Bahkan Meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu.

Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekedar mengkalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan
segala cara.

Baca Juga: Apakah Jokowi Dukung Prabowo Gibaran? Habiburokhman: Jangan Khawatir

Selain itu, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara.

Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.

Penyataan Timbulkann Polemik


Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah menganggap
penting untuk mengambil sikap atas apa yang disampaikan oleh Presiden Joko
Widodo yang telah menimbulkan polemik ini.

Sikap ini dipandang penting mengingat Muhammadiyah memiliki peran dan tanggungjawab keummatan dan kebangsaan untuk tetap menjaga nalar demokrasi yang diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia ini agar tidak diseret sesuka hati elit politik berdasarkan keinginan dan kepentingannya masing-masing.

Baca Juga: Benarkah Pernyataan Jokowi Terkait Presiden Bisa Berkampanye Picu Kontroversi Publik? Simak Menurut UUD?

Sebelum sampai pada pernyataan sikap yang akan disampaikan, Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah menyampaikan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo dimaksud tidak bisa hanya dilihat dari kacamata normatif semata.

Melainkan juga harus dilihat dari optik yang lebih luas yakni dari sudut pandang filosofis, etis, dan teknis.

Pertama, dari sudut pandang normatif.

Adalah benar Pasal 299 ayat (1)
UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden hak
melaksanakan kampanye.

Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat
(1) UU Pemilu ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah norma yang
terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan
Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.

Pelaksanaan
Kampanye harus dipandang bukan hanya sekedar ajang
memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus
dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat
sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.

Bagaimanamungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah
satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lainnya?

Baca Juga: Menyoal Penyataan Jokowi, Sultan HB X Diam Seribu Bahasa, Pengamat: Selamat Datang Di Dunia Terbuka


Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden
dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak
merupakan statemen yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan
dari esensi kampanye dan Pemilu itu sendiri.


Kedua.

Dari sudut pandang filosofis. Presiden sebagai kepala negara adalah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu.

Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu
yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang
berintegritas.

Selain itu, sebuah jabatan publik (terlebih Presiden yang
merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi) terikat
dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi.

Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya memang tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan.

Berdasarkan hal diatas, maka secara filosofis posisi Presiden adalah
pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan
untuk semua kontestan. Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas
untuk kampanye sekalipun dilakukan saat cuti adalah tidak tepat.

Baca Juga: Akhirnya, Jokowi Komentari Rencana Mundur Mahfud dari Kabinet: Itu Hak Pak Mahfud dan Saya Menghargai


Ketiga, 

Dari sudut pandang etis (dan teknis). Sumpah jabatan
penyelenggara negara, termasuk presiden, adalah setia pada
Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung.

Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi
sebagai presiden dalam aktivitas apapun. Bahkan aktivitas keseharian
yang tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan
sekalipun.

Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti
pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak
langsung “dianggap” oleh sebagian masyarakat sebagai “bantuan
Jokowi”.

Faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan
dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memposisikan “bantuan
sosial” ini sebagai “bantuan Jokowi”.
Berdasarkan hal-hal di atas,

 

 

 

 

 

Editor: Ahmad R

Sumber: berbagai sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah