Dua Bulan Terakhir, Etnis Rohingya Mendarat di Aceh: Ini Merupakan Gelombang Kedelapan, Menyusul?

- 10 Desember 2023, 12:15 WIB
Ilustrasi  pengungsi Rohingya .
Ilustrasi pengungsi Rohingya . /Tangkapan layar/YouTube Jazirah Ilmu

 
MEDIA PAKUAN - Pengungsi Rohingya kembali mendarat lagi Minggu, 10 Desember 2023 pukul 3.30 WIB di Pidie, Provinsi Aceh.
 
Kali ini sebanyak lebih 200 orang berlabuh turun dari perahu. Mereka diketahaui warga saat berada dipesisir pantai.

Pengungsi itu mendarat di Pantai Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga. Mereka terdiri dari laki-laki, perempuan, dan anak-anak.
 
Kedatangan membuat para Personel TNI dan Polri sudah berada di lokasi segera  melakukan serangkaian pengamanan.
 
 
Tercatat kedatangan Rohingnya yang berlayar ke Aceh merupakan gelombang kedelapan Rohingya dalam dua bulan terakhir.
 
Gelombang pertama mendarat di kecamatan tersebut pada 14 November lalu. Saat ini, sudah ada empat gelombang Rohingya yang berada di Pidie.
 
Sementara sisanya ditampung di Lhokseumawe dan Sabang

Dari data UNHCR, sudah 1.200 pengungsi yang tiba di Aceh sejak pertengahan November 2023. Mereka tersebar di Sabang, Pidie dan Lhokseumawe. 
 
Jumlah itu belum termasuk 202 pengungsi Rohingya yang baru tiba di Pidie hari ini.

Sebelumnya Kementerian Luar Negeri sudah menyatakan Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung para pengungsi dari Myanmar tersebut.
 
 
Apalagi Indonesia bukan bagian dari Konvensi Pengungsi 1951. Karena itu, tidak memiliki kepentingan tujuan lokasi pengungsian

Etnis Rohingya merupakan minoritas Muslim di Myanmar yang menggunakan bahasa Rohingya.
 
Bahasanya memiliki kemiripan dengan bahasa Bengali. Mereka tinggal di Rakhine yang merupakan negara bagian termiskin di Myanmar.

Menurut Organisasi Nasional Rohingya Arakan (ARNO), etnis Rohingya telah bermukim di Myanmar sejak abad ke-15.
 
Nenek moyang mereka berasal dari bangsa Arab, Moor, Pathan, Moghul, Bengali, dan beberapa orang Indo-Mongoloid. Meskipun begitu, etnis Rohingya tidak diakui oleh pemerintah Myanmar.
 
 
Hal itu bermula ketika pada 1982, pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang yang menyatakan rakyatnya adalah warga yang telah menetap di negara tersebut sebelum kemerdekaan pada 1948. Dalam undang-undang itu hanya 135 etnis yang diakui.

Karena tidak diakui, warga Rohingya kerap didiskriminasi. Mereka kerap kesulitan untuk memenuhi hak mereka memperoleh pendidikan, bekerja, bepergian, menikah, beribadah hingga mendapat layanan kesehatan.

Bahkan pada Oktober 2012, presiden Myanmar saat itu, Thein Sein meminta PBB untuk merelokasi warga Rohingya ke negara lain. “Kami akan mengurus warga kami, tapi Rohingya masuk ke Myanmar secara ilegal dan kami tak bisa menerima mereka di sini.”

Akibat diskriminasi itu, warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahkan mengakui bahwa masyarakat Rohingya sebagai salah satu kaum minoritas yang paling teraniaya di dunia.***

 


 
 
 
 
 
 

Editor: Ahmad R

Sumber: Media Sosial


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x