Dinamika Politik Indonesia: Milineal dan Gen Z Makanan Empuk Politisi Haus Kekuasaan

25 Maret 2024, 10:30 WIB
Dinamika Politik Indonesia: Milineal dan Gen Z Makanan Empuk Politisi Haus Kekuasaan /Instagram @kurohige_teach/

MEDIA PAKUAN - Tahun 2024 akan menjadi tahun politik bagi Indonesia karena Pemilihan Umum (Pemilu) akan diselenggarakan.

Pada tanggal 14 Februari 2024, seluruh masyarakat Indonesia telah memberikan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin bangsa yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Namun, carut-marut peta politik saat ini menjadi bara api dalam sekam, Generasi milineal, gen Z akan menjadi pemimpin hari esok.

Kata-kata politik menjadi familiar dikalangan generasi muda sekarang ini. Tahun politik saat ini bukan hanya berbicara tentang golongan tua, para kaum muda bermunculan ikut berkontestasi dalam pertarungan demokrasi.

Tak Heran kontestasi para calon muda berebut suara dengan para seniornya, pada umumnya calon muda ingin mengeruk simpati anak muda. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan sebanyak 278,8 juta jiwa pada 2023.

Baca Juga: Hanya Ada Di Era Jokowi, Politikus PDIP: Rakyat Sudah Tak Percaya dengan Ucapan Presiden

Menurut usianya, 69,13% penduduk Indonesia berada di jenjang usia 15-64 tahun. Sebanyak 23,89% penduduk berusia 0-14 tahun. Kemudian, 6,98% penduduk berusia 65 tahun ke atas.

Pemilu, sebuah momentum penting, di mana rakyat memiliki hak untuk memilih pemimpin dan wakilnya.

Namun, dalam dinamika kompleks politik, sering kali kita menyaksikan kelompok tertentu menjadi target empuk bagi para politisi yang haus kekuasaan.

Salah satunya adalah pemilih muda, yang seharusnya menjadi tulang punggung kekuatan segar dalam demokrasi. Sayangnya, kenyataannya mereka seringkali hanya menjadi sapi peras politik belaka.

Melansir dari data analisis Hipotesa.id bahwa pemilih muda memiliki peran krusial dalam menentukan arah politik suatu negara.

Baca Juga: Politisi Nasdem Laporkan Ganjar Pranowo Atas Dugaan Kasus Gratifikasi

Mereka merupakan generasi yang memegang kendali masa depan, dan partisipasi mereka seharusnya mencerminkan suara perubahan dan aspirasi akan pemimpin yang mampu memahami dan mewujudkan harapan mereka.

Namun, seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan bagaimana pemilih muda seringkali dihadapi dengan janji-janji manis semata, tanpa adanya tindakan konkret yang mengikuti.

Salah satu masalah utama yang dihadapi pemilih muda adalah minimnya pemahaman akan proses politik dan kebijakan.

Mereka cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh citra dan pesan yang dibentuk oleh kampanye politik daripada substansi kebijakan.

Politisi cerdik tahu bahwa dengan memainkan emosi dan membungkus retorika mereka dengan kata-kata yang menarik bagi pemuda.

Baca Juga: Prabowo - Gibran Sah Menang, Pengamat Politik: Benarkah? Menang Tapi Tidak Elegan

Dalam konteks ini, pemilih muda menjadi objek manipulasi, diarahkan untuk memilih berdasarkan kesan visual dan janji kosong, tanpa melibatkan diri dalam analisis mendalam terhadap kebijakan-kebijakan yang diajukan

Selain itu, terdapat pula kecenderungan bagi politisi untuk mengabaikan pemilih muda setelah pemilihan selesai. Dalam banyak kasus, janji-janji kampanye yang bersinar selama masa pencalonan lenyap begitu saja, meninggalkan pemilih muda dalam kekecewaan dan rasa frustrasi.

Mereka merasa hanya dimanfaatkan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik, tanpa mendapatkan perhatian yang layak setelah suara mereka dikumpulkan.

Hal ini tidak hanya merugikan pemilih muda secara langsung tetapi juga merusak kepercayaan mereka terhadap proses demokrasi secara keseluruhan.***

 

Editor: Popi Siti Sopiah

Tags

Terkini

Terpopuler