MEDIA PAKUAN - Amnesti Internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan ratusan pengungsi Rohingya yang dilaporkan banyak yang tewas setelah terapung selama berminggu-minggu di atas kapal yang telah rusak di Samudera Hindia.
Mengutip Arab News, dua kapal yang membawa pengungsi, termasuk wanita dan anak-anak, memasuki perairan Indonesia di dekat wilayah Aceh Utara pada Jumat malam, 23 Desember 2022.
Menurut kelompok tersebut hingga Sabtu siang kemarin tidak ada upaya penyelamatan yang dilakukan dan seorang pengungsi dari salah satu kapal diduga meninggal karena kelaparan.
Pada akhir November, lima kapal dilaporkan meninggalkan pantai Cox's Bazar, tempat pemukiman pengungsi Rohingya terbesar di Bangladesh.
Baca Juga: Budayawan Betawi Ridwan Saidi Meninggal Dunia, Fadli Zon: Insya Allah Husnul Khotimah
Badan Pengungsi PBB mengutip laporan yang belum dikonfirmasi pada hari Sabtu, mengatakan bahwa setidaknya 20 orang di salah satu kapal yang hilang sudah tewas.
Pada awal Desember, 154 pengungsi di salah satu kapal diselamatkan oleh perusahaan lepas pantai Vietnam dan diserahkan ke angkatan laut Myanmar, sementara 104 orang di kapal lain diselamatkan oleh angkatan laut Sri Lanka pada 18 Desember.
Seorang aktivis Rohingya di Cox's Bazar, Mohammed Rizwan Khan, dalam pesannya kepada media mengatakan bahwa kapal itu ditarik ke perairan Indonesia oleh angkatan laut India.
“Kami meminta pemerintah Indonesia untuk segera membiarkan mereka turun,di daratan mana pun, karena mereka telah berada di laut selama hampir satu bulan kata Khan kepada Arab News.
Menurutnya kapal yang telah rusak mesinnya tersebut membawa 160 orang dan telah terapung-apung di lepas pantai Thailand, Malaysia, Indonesia dan India sejak awal Desember.
Juru bicara Badan Keamanan Maritim Indonesia, Wisnu Pramandita kepada Arab News mengatakan bahwa pihak berwenang belum menemukan kapal apa pun di wilayah laut Indonesia.
Sementara itu anggota Geutanyoe organisasi kemanusiaan berbasis di Aceh, untuk pengungsi Rohingya di Indonesia, Reza Maulana mengatakan bahwa masalah teknis atau politik tidak boleh dijadikan argumen untuk menghindari aksi kemanusiaan.
“Menyelamatkan pengungsi yang terancam adalah suatu keharusan, apapun yang terjadi,” katanya.
Pada 2017, lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menyusul tindakan brutal oleh militer Myanmar yang menurut PBB merupakan genosida.
Di kamp-kamp yang penuh sesak di Cox's Bazar, pengungsi Rohingya menghadapi ketidakpastian yang mendorong mereka untuk melakukan perjalanan berisiko dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.***