Din Syamsuddin Tanggapi GAR ITB Soal Radikal ' Itu Tak Kaget Ini Pertarungan Ideologis lama'

- 22 Februari 2021, 11:15 WIB
Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Mantan Ketum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin. /Instagram/@m_dinsyamsuddin.

MEDIA PAKUAN-Terkait tudingan yang menyebutkan dirinya sebagai teroris dan dicap radikal,Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat(PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin akhirnya angkat bicara.

Menanggapi tuduhan itu Din Syamsuddin tidak masalah ketika dirinya dicap radikal oleh Gerakan Antiradikalisme Institut Teknologi Bandung (GAR ITB).

Pengakuan Din Syamsuddin ini diungkapkan ketika berbicara kepada Karni Ilyas dalam sebuah video yang diunggah di kanal YouTube Karni Ilyas Club pada Minggu, 21 Februari 2020.

Baca Juga: CEK FAKTA! Stiker WhatsApp Kini Dibebani Biaya, AKBP Nyoman : sebaiknya Hentikan Langgana Fitur WA

Menurut Din, awal mula permasalahannya itu ketika ia menjadi anggota di Majelis Wali Amanat(MWA) ITB bersama tokoh lain.

"Saya lupa sejak kapan, tapi untuk diketahui, saya (bergabung) atas undangan, karena Majelis Wali Amanat itu harus ada unsur masyarakat," kata Din Syamsuddin. Seperti yang diwartakan Kabarlumajang.com

Menurutnya, keanggotaan yang diterimanya sama dengan apa yang diterima Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj di Universitas Indonesia (UI).

Baca Juga: AS Kecewa Pandemi Covid 19 Telah Membunuh Setengah Juta Warganya, Anthony Fauci: Mengerikan, Menakjubkan

"Rupanya ITB, untuk menjaring wakil dari masyarakat, tiga atau empat orang, (dicari) lewat pemilihan di Senat Akademik," tutur Din Syamsuddin.

Dan ternyata nama Din Syamsuddin ini termasuk kedalam pemilihan tersebut, bahkan berhasil meraup suara tertinggi di Senat Akademik ITB.

Ada beberapa nama yang dipilih lanjut Din, diantaranya pendiri Wardah Nurhayati Subakat, pendiri Bukalapak Achmad Zaky, dan Yani Panigoro.

Baca Juga: Vaksinasi Lansia di Jepang Terpaksa Ditunda, Karena Keterlambatan?

"Saya mengendus dari awal, ini ada aroma pertarungan ideologis," ucap Din Syamsuddin.

Din menyebut konflik yang terjadi di sana sebenarnya antara pendukung Islam dan kebalikannya.

"Ini suatu malapetaka bagi bangsa kalau di kampus-kampus kita, termasuk di pusat perkumpulan akademik kemudian masih muncul seperti itu Ini sudah lagu lama, di UI, di ITB, di Gajah Mada," kata Din Syamsuddin.

"(Pertarungan ideologi) Islam dengan non-Islam. Dulu kita kenal ada dikotomi santri-abangan kemudian sebenarnya sudah cair sejak tahun 1990-an," tuturnya.

Baca Juga: Menaker Usahakan Akan Menyalurkan Sisa BLT BPJS Ketenagakerjaan, Segera Cek Penerima di www.kemnaker.go.id

Kita tahu sebelumnya ada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dianggap sebagai pemersatu umat Islam di Indonesia kala itu dengan memunculkan neo-santri.

Namun, pergolakan konflik ideologis ini kembali menguat pascakejatuhan Presiden Soeharto pada 1998.

"Segera setelah reformasi, dikotomi ini muncul. Yang (berideologi) Islam bukan berarti beragama Islam, yang lain nonmuslim," ujar Din Syamsuddin.

Baca Juga: HPSN, DLH Kota Sukabumi Imbau Masyarakat Memilah Sampah dari Rumah Tangga

"Karena yang seberang sana (non-Islam) juga Muslim, kadangkala Muslim yang taat. Tapi, ideologi politiknya bukan kepada kepentingan umat Islam," tutur Din.

"Apalah, yang disebut nasionalis, sosialis, bahkan juga komunis, sekuler, liberal, dan lain sebagainya," kata dia menambahkan.

Konflik ini semakin menguat sejak pemilihan rektor ITB pada 2019 silam, nyaris bersamaan dengan pertarungan Prabowo-Jokowi di Pilpres 2019.

Baca Juga: Lowongan Kerja di Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Februari 2021: Butuhkan Admin Persuratan

"Wah, kok jadi begini ya? Saya sebenarnya tidak nyaman dalam suasana seperti itu karena sudah selama ini berupaya saya berada pada posisi lintas (kelompok)," ujar Din Syamsuddin.

Artikel ini telah tayang di Pikiran-Rakyat.com dengan judul "Sangat Tidak Kaget Dicap Radikal oleh GAR ITB, Din Syamsuddin: Ada Pertarungan Ideologis, Malapetaka Bangsa."

Seperti diketahui, GAR ITB mempersoalkan kritikan Din Syamsuddin terkait hasil pemilihan presiden 2019 (Pilpres 2019) yang dianggap mendiskreditkan lembaga negara, yakni Mahkamah Konstitusi (MK).***(Pikiran Rakyat/Mahbub Ridhoo Maulaa)

Editor: Popi Siti Sopiah


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah