“Membedakan hasutan, penghinaan, provokasi, itu yang enggak jelas. Akibatnya, mudah sekali menangkap orang kalau penegak hukum punya target atau subjektivitasnya,” ungkap Refly Harun.
Dalam talkshaow tersebut Refly pun membahas mengenai instrumen Hak Azasi Manusia (HAM) yang dinilainya jelas atau tidak multitafsir.
“Instrumen HAM misalnya. Anda boleh mengkritik, tapi tidak boleh SARA. Itu sudah jelas. Sedangkan ‘antargolongan’ itu mesti jelas (definisinya,” ujar Refly Harun.
Ketidakjelasan dalam UU ITE, berdampak pada tindakan penegak hukum.
“Kita harus lihat, jika polisi mau menindak, harus faktual. Apakah benar menimbulkan keonaran dengan sebab akibatnya? Karena tidak jelas ukuran-ukurannya ini, dan dengan adanya pengaruh dari kekuasaan, segala sesuatu jadi relative dan tidak jelas,” papar Refly Harun.
Sementara itu, sebelumnya Presiden Jokowi telah meminta DPR untuk merevisi UU ITE.
Jokowi tegaskan revisi tersebut harus dilakukan jika memang dalam penerapannya tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini, UU ITE ini,” ujar Jokowi dikutip adri Antara.***