Wow! Patrialis Dan Anas Urbaningrum Mendapat Keringanan, MA Ungkap Tiga Alasan Memutuskan PK

- 24 Januari 2021, 07:30 WIB
Ilustrasi korupsi.
Ilustrasi korupsi. /pixabay/sajinka2 /
 
 
MEDIA PAKUAN - Sejumlah narapidana korupsi yang mengajukan upaya hukum luar biasa melalui peninjauan kembali (PK).
 
Mereka telah mendapat keringanan hukuman putusan Mahkamah Agung (MA).
 
Seperti mantan hakim MK Patrialis Akbar terpidana korupsi dalam kasus suap impor daging sapi.
 
Ia dihukum delapan tahun penjara dan dipotong berdasarkan putusan PK menjadi tinggal 7 tahun penjara.
 
 
Kemudian mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terpida korupsi perkara suap proyek wisma atlit Hambalang.
 
Awalnya Anas dihukum selama 14 tahun dalam perkara suap Hambalang, pada putusan PK hukumannya dipotong menjadi tinggal delapan tahun penjara.
 
Selain Patrialis Akbar dan Abas Urbaningrum, ada 63 terpidana korupsi lainnya mengajukan upaya hukum luar biasa melalui PK.
 
 
Sebagian diantaranya telah mendapat keringanan hukuman dari putusan PK Mahkamah Agung. Bahkan KPK menyebut beberapa diantaranya mengajukan PK beberapa kali.
 
Juru bicara KPK Ali Fikri mengatakan, berdasarkan catatan KPK ada sekitar 65 terpidana korupsi mengajukan upaya hukum luar biasa melalui PK. 
 
Sejak bulan Agustus 2020 para napi korupsi ini serentak mengajukan upaya hukum luar biasa ke Mahkamah Agung.
 
 
"Belakangan para napi ini ramai-ramai menerima putusan di tingkat pertama atau pengadilan tipikor, kemudian di bulan itu mereka mengajukan upaya hukum luar biasa melalui PK," ujarnya seperti diberitakan Media Pakuan sebelumnya.
 
Sementara itu, dilansir dari Antara, Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro menyampaikan tiga alasan MA mengabulkan permohonan PK yang diajukan terpidana korupsi.
 
"Ada tiga hal yang menjadi alasan kenapa dikabulkan," kata Andi dalam sebuah diskusi virtual bertema "PK Jangan Jadi Jalan Suaka" yang digelar KPK. 
 
 
Yang pertama, Lanjut Andi karena disparitas pemidanaan. Fakta menunjukan ada tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tapi dalam persidangan berkasnya diajukan terpisah. 
 
Pada dasarnya tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang sehingga pemeriksaannya juga terpisah dan hasil pemeriksaan perkara juga tidak diajukan bersamaan.
 
Sehingga ada terpidana yang sudah diputus lebih dulu dan ada juga yang belum.
 
 
"Majelis hakim yang mengadili juga berbeda-beda, baik itu ditingkat pertama, banding, maupun kasasi, sehingga memutuskan putusan yang berbeda-beda," paparnya.
 
Ada terpidana yang merasa hukumannya lebih berat  padahal perbuatan sama.
 
"Lalu ada juga yang sudah mengembalikan uang hasil pidana, tapi merasa hukumannya juga berat. Nah itu dijadikan alasan PK," kata Andi.
 
Alasan yang kedua, MA menemukan ada terpidana yang merupakan pelaku utama dihukum lebih ringan.
 
 
"Sementara terpidana yang bukan pelaku utama malah dihukum lebih berat. Jadi mereka merasa tidak adil," tuturnya.
 
Kemudian alasan yang ketiga adalah perkembangan kondisi hukum.
 
"Rasa keadilan itu kan suatu seni pertimbangan, ditambah fungsi rasio dan hati nurani sehingga menghasilkan angka yang adil," ucapnya. 
 
Andi menyebut dalam 10 tahun terakhir ada pergeseran penerapan hukum yang menuntut untuk melakukan inovasi untuk kemanfaatan.
 
 
Meski demikian, Ia tidak menjelaskan seperti apa pergeseran penerapan hukum yang ingin dilakukan MA.
 
"Dari seluruh permohonan PK kasus korupsi yang masuk ke MA, hanya 8 persen yang dikabulkan, dan 92 persennya ditolak," pungkasnya.*** Samsun Ramlie
 
 
 
 
 

Editor: Ahmad R

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x