PUKIS Kritisi Tarif Masuk Taman Wisata Komodo, Kajian Tak Libatkan Masyarakat: Picu Diskriminasi dan Eksklusif

9 Agustus 2022, 15:31 WIB
Ilustrasi - Sejumlah masyarakat di Labuan Bajo protes kenaikan tarif baru Rp3,75 juta ke Pulau Komodo dan Pulau Padar / /Antara/Fransiska Mariana Nuka/

MEDIA PAKUAN - Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS) mengapresiasi keputusan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT).

Apresiasi diberikan seiring penundaan kenaikan tarif masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar hingga 1 Januari 2023 mendatang.

"Kami mendukung penundaan kenaikan tarif sekaligus memberikan sejumlah catatan kritis bagi pemerintah pusat dan daerah”, ujar Direktur Eksekutif PUKIS M. M. Gibran Sesunan.

Baca Juga: Luhut Binsar Bilang Hutang Indonesia hanya Rp7.000 Trilun, Jangan Panik !!

Dalam siaran pers di Yogyakarta, Selasa 9 Agustus 2022 yang diterima Media Pakuan, M Gibran Sesunan mengatakan, Pemprov NTT yang didukung Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berencana menetapkan tarif baru di Taman Nasional Komodo.

Dari semula Rp75.000 bagi wisatawan nusantara (wisnus) dan Rp150.000 bagi wisatawan mancanegara (wisman) kini menjadi Rp3.750.000 per orang.

M.Gibran Sesunan mengatakan dari kenaikan tarif baru masuk ke Taman Nasional lembaganya mengkritisi. 

Baca Juga: Wajah Masih Bengkak Pasca Operasi, Lucinta Luna : Bentar Lagi Ratu Mau Debut Bareng Blackpink 

Pertama, kata Gibran PUKIS menilai minimnya pelibatan masyarakat dalam penyusunan kajian yang berujung pada keputusan kenaikan tarif di Taman Nasional Komodo. “Pemerintah mengatakan ada kajiannya. Sekarang publik bertanya, ada di mana kajian tersebut?”, ujar Gibran.

Karena itu, kata dia PUKIS mendesak pemerintah untuk segera membuka kajian tersebut. Sehingga masyarakat bisa lebih memahami latar belakang kebijakan serta alasan-alasan di baliknya secara lebih komprehensif.

Selain itu, kata dia pemerintah harus mengkaji dampak kenaikan tarif bagi masyarakat dan pelaku usaha pariwisata. Terlebih, sejak tahun 2020, UNESCO telah mengingatkan pemerintah mengenai potensi terpengaruhnya mata pencaharian masyarakat lokal.

Baca Juga: Done Deal, Egy Maulana Vikri Resmi Gabung Bersama Klub Liga 1 Slovakia

"Kondisi ini dapat memicu protes seiring dengan rencana reformasi pariwisata di Taman Nasional Komodo. Dan peringatan dari UNESCO ini telah diabaikan oleh pemerintah, " katanya

Selain itu, kata Gibran PUKIS meminta kenaikan tarif tidak hanya ditunda, tetapi juga dievaluasi kembali nilai kenaikannya.

“Kenaikan tarif dilakukan secara mendadak dengan besaran yang luar biasa”, kata Gibran.

Kenaikan tarif yang mencapai 25 kali lipat, kata Gibran, bagi wisman dan 50 kali lipat bagi wisnus ini berpotensi menimbulkan diskriminasi dan ekslusivisme pariwisata.

Baca Juga: Baru Seumur Jagung Pernikahan, Deddy Corbuzer Ungkap Akan Ceraikan Istrinya, Jika Lakukan Ini

Padahal menurut BPS, kata dia rata-rata upah pekerja di Indonesia hanya sebesar Rp 2.892.537 per bulan.

“Jadi, pembangunan untuk siapa? Jangan sampai pengembangan Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) Labuan Bajo justru meminggirkan masyarakat dan wisatawan lokal, padahal pembangunan infrastrukturnya banyak menggunakan uang rakyat (APBN)”, kata Gibran.

Baca Juga: Animo Masuk Militer Berkurang, AS Iming-imingi Hadiah Puluhan Ribu Dolar dalam Perekrutan: AD Terbesar

Selanjutnya, Gibran mengatakan PUKIS mengingatkan, organisasi pariwisata dunia, UNWTO, menyatakan bahwa pariwisata yang berkelanjutan harus memberikan manfaat sosial-ekonomi yang adil kepada seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal.

Sehingga PUKIS mempertanyakan alasan kelestarian ekosistem yang selalu digaungkan pemerintah. PUKIS membantah klaim ini karena Presiden Jokowi sendiri telah menargetkan jumlah kunjungan 1,5 juta orang per tahun di DPSP Labuan Bajo.

Baca Juga: China dan Taiwan Memanas, CIA Alihkan Perhatian Lawan Beijing: Alokasi Anggaran Terorisme Dikurangi

Target ini lebih besar enam kali lipat dibandingkan jumlah kunjungan pada tahun 2019 yang sebesar 256.000 orang berdasarkan data Kemenparekraf. Artinya, kebijakan ini justru dapat memperparah situasi lewah turis (overtourism) di Taman Nasional Komodo.

“Hal ini sangat kontradiktif dan kontraproduktif. Di satu sisi pemerintah ingin beralih dari pariwisata massal ke pariwisata yang berkualitas, namun di sisi lain justru menaikkan target kunjungan wisata secara besar-besaran”, pungkas Gibran. ***

 

Editor: Ahmad R

Sumber: Pusat Kajian Infrastruktur Strategis (PUKIS)

Tags

Terkini

Terpopuler