Israel-Palestina Konfik Paling Buruk di Timur Tengah

- 26 Desember 2023, 13:35 WIB
Kondisi anak-anak setelah serangan udara Israel terhadap rumah-rumah warga Palestina di Rafah. Bahkan kota yang diyakini sebagai kelahiran Yesus Kristus pun digempur Israel di hari perayaan umat Kristiani pada Senin pagi, 25 Desember 2023.
Kondisi anak-anak setelah serangan udara Israel terhadap rumah-rumah warga Palestina di Rafah. Bahkan kota yang diyakini sebagai kelahiran Yesus Kristus pun digempur Israel di hari perayaan umat Kristiani pada Senin pagi, 25 Desember 2023. / Reuters/ Fadi Shana/

MEDIA PAKUAN -  Konflik Israel-Palestina adalah konflik yang paling buruk sepanjang sejarah, hingga kini korban tewas telah mencapai 20.000 sedangkan tanda-tanda perdamaian belum juga terlihat.

Bukan tanpa alasan konflik kedua negara ini sulit direalisasikan kesepakatan mengakhiri konflik rumit ini sudah ada selama beberapa dekade.

Namun, perbatasan Israel dan Palestina di masa depan, status Yerusalem, pengembalian pengungsi Palestina, distribusi air atau penggunaan kekerasan sebagai senjata politik - sejak awal telah menjadi hambatan utama yang menghalangi kemajuan dalam proposal perdamaian.

Ketika Perjanjian Oslo ditandatangani pada 1993, wilayah palestina dibagi menjadi dua, sekitar 110.000 permukiman Yahudi di Tepi Barat, dan sektar 140.000 di Yerusalem Timur.

Baca Juga: Situasi Konflik Gaza Semakin Mencekam, Kini Mencapai Angka 21.000 Orang Palestina Yang Tewas

Persoalan permukiman Yahudi akan menjadi sesuatu yang harus diselesaikan di kemudian hari, tapi perjanjian Israel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) menyepakati tidak ada pembangunan koloni baru.

Setelah gencatan senjata tahun 1949, yang mengakhiri perang antara Israel dan negara-negara tetangganya di Arab, Israel dan Palestina dibatasi oleh garis Hijau.

Garis Hijau memisahkan Yerusalem menjadi dua dan membatasi Tepi Barat dan Gaza.

Selama Perang Enam Hari pada tahun 1967, Israel mencaplok Yerusalem Timur dan menduduki Gaza serta Tepi Barat, di mana pemerintah Israel berturut-turut membangun pemukiman Yahudi, mengabaikan Garis Hijau.

Pada tahun 2005, Israel membongkar permukimannya di Gaza dan menarik diri dari Jalur Gaza.

Baca Juga: Beginilah ketika Bella Hadid Berjanji Mengenai Palestina

Semua permukiman ini, berdasarkan hukum internasional, adalah ilegal.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menegaskan kembali bahwa permukiman yang dibangun Israel di wilayah Palestina yang diduduki sejak tahun 1967, termasuk di Yerusalem.

"pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional dan merupakan penghalang utama bagi visi dua negara untuk hidup berdampingan dalam perdamaian dan keamanan, di dalam batas-batas yang diakui secara internasional."

Tapi, Israel tidak melihatnya seperti itu, dan menganggap semua permukiman yang disahkan adalah legal.

Perjanjian Oslo II membagi Tepi Barat menjadi tiga zona: A, yang meliputi daerah perkotaan Palestina dan berada di bawah kendali sipil dan polisi Otoritas Nasional Palestina (PNA);

Zona B, di bawah kendali sipil Palestina dan militer Israel;

dan zona C, dengan kendali penuh militer dan sipil Israel dan meliputi 60% dari wilayah tersebut. Di situlah permukiman-permukiman berada.

Baca Juga: Israel Lakukan Aksi Semprot Merica di Masjid Ibrahim, Sejumlah Jemaah Palestina Alami Kesakitan

Warga Palestina dan organisasi-organisasi seperti B'Tselem dan Peace Now mengecam fakta bahwa Israel hampir tidak memberikan izin pembangunan di Area C kepada warga Palestina, tapi tetap membiarkan pertumbuhan permukiman Yahudi.

"Kami tidak melihat adanya perdamaian antara Israel dan Gaza ketika Israel menghancurkan 27 permukiman dan memindahkan 8.000 orang Yahudi dari rumah mereka di Jalur Gaza (pada tahun 2005)," kata peneliti

Gerakan nasional Palestina telah terpecah sejak berdirinya organisasi Islam Hamas pada tahun 1987, yang melemahkan posisi hegemonik PLO pimpinan Yasir Arafat, yang didukung oleh kelompok Fatah.

Hamas dibiarkan memerintah Gaza, sementara PA, yang didominasi oleh Fatah, mempertahankan kendali atas Tepi Barat. Sejak itu tidak ada pemilu ulang, dan Mahmud Abbas, presiden ANP, tetap berkuasa

"Kesempatan perdamaian telah hilang ketika Hamas memenangkan pemilu, dan berusaha membentuk pemerintahan koalisi dengan Fatah, sesuatu yang tidak diinginkan oleh Barat, dan memperdalam keretakan di antara warga Palestina," kata sejarawan Rachid Khalidi

Hamas dituduh sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa.***

Editor: Ahmad R

Sumber: Middle East Monitor


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x