Sejarah Konflik Israel dan Palestina Sulit untuk Menemukan Titik Damai

2 November 2023, 14:14 WIB
Sejarah Konflik Israel dan Palestina Sulit untuk Menemukan Titik Damai /Reuters/Mohammed Al-Masri

MEDIA PAKUAN - Konflik antara palestina dan Israel kembali pecah ketika kelompok Hamas berhasil menguasai Gaza dan melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Israel pada Sabtu, 7 oktober 2023.

Serangan itu menjadi konflik berkepanjangan antara kedua pihak, Israel pun melakukan serangan balik dengan skala besar menyebabkan ribuan jiwa tewas.

Serangan Hamas merupakan serangan baru yang mematikan sepanjang sejarah Israel dan Palestina.

Konflik antara Israel dan Palestina adalah konflik yang sulit untuk menemukan titik damai.

Konflik tersebut mulai ketika Menteri Luar Negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris, isi surat tersebut sampai saat ini sangat berdampak bagi palestina surat tersebut ditulis pada tanggal 2 November 1917
Lebih dari 100 tahun yang lalu.

Baca Juga: Tak Mampu Hentikan Aksi Genosida di Gaza, Petinggi PBB di New York Undurkan Diri, Mokhiber: Didepan Mata Kita

Perjanjian ini mengikat pemerintah Inggris untuk "mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini". Surat tersebut dikenal dengan Deklarasi Balfour.

Intinya, kekuatan Eropa menjanjikan gerakan Zionis sebuah negara di wilayah yang 90% penduduknya adalah penduduk asli Arab Palestina.

Namun warga Palestina melawan gelombang migrasi ini, Palestina khawatir tanah mereka akan di ambil alih oleh Yahudi, dengan perubahan demografi negara mereka dan penyitaan tanah mereka oleh Inggris untuk diserahkan kepada pemukim Yahudi.

Pemberontakan pun terjadi selama 3 tahun pada tahun 1936 hingga 1939.
Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.

Lantas inggris pun secara brutal menindas dan melakukan penangkapan massal serta melakukan penghancuran rumah, sebuah praktik yang terus diterapkan Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.

Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina, yang menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.

Pada paruh kedua tahun 1939, Inggris telah mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal tersebar luas.

Yahudi di bantu oleh inggris untuk membentuk kelompok bersenjata dan pasukan kontra pemberontakan yang terdiri dari para pejuang Yahudi bernama Pasukan Malam Khusus yang dipimpin Inggris.

Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan

Baca Juga: Pasca Keluar dari BNN, Raffi Ahmad Miliki Tempat Sembunyi: Benarkah Dirumah Camelia Malik? Simak Yuk!

Insiden Nakba

Pada tahun 1948, kekuasaan inggris berakhir namun sebelum itu, paramiliter Israel sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan Israel yang akan lahir.

Pada April, lebih dari 100 pria, wanita dan anak anak penduduk Palestina dibunuh oleh Israel di desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem. Penghancuran 500 desa Palestina disebut sebagai Nakba, atau "bencana" dalam bahasa Arab.

Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian. Insiden ini juga membuat Gerakan Zionis menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina. Sisanya yang sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.

Diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka.

Pada 16 Mei 1948, perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.

Pasca Nakba

Setelah peristiwa nakba setidak masih ada warga Palestina yang bertahan tetap tinggal di negara yang dibentuk dan dibawah kontrol penduduk militer Israel selama hampir 20 tahun sampai mereka diberi kewarganegaraan israel.

Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat. Lalu, pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Baca Juga: Waspada Merkuri Ancam Wajah Anda! 6 Ciri Kosmetik Kamu Mengandung Zat Berbahaya: Ini Cara Mengetahuinya

Perjanjian Oslo dan Otoritas Palestina

Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA), sebuah pemerintahan sementara yang diberikan pemerintahan mandiri terbatas di wilayah pendudukan Tepi Barat dan Jalur Gaza.

PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60% Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.

PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.

Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang di lebih dari 100.000 hektar tanah yang diambil alih dari Palestina.

Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.***

Editor: Popi Siti Sopiah

Sumber: berbagai sumber

Tags

Terkini

Terpopuler