Tempat 'Pacaduan' di Walungan Cimanuk yang Terkenal Angker

- 1 Oktober 2020, 17:49 WIB
Walungan Cimanuk Kabupaten Garut
Walungan Cimanuk Kabupaten Garut /Mediapakuan.com/

MEDIA PAKUAN-Pacaduan dalam budaya orang Sunda sejak zaman dahulu terdapat cukup banyak ucapan ataupun perilaku dalam aktivitas sehari-hari yang dilarang.

Sesuatu yang tabu biasa disebut dengan pamali dalam bahasa Sunda. Menghindari hal yang pamali adalah bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Sunda dan Jawa Barat pada umumnya. Kebiasaan ini terkait erat dengan prinsip-prinsip orang Sunda

Baca Juga: Beberapa Jenis Tradisi Tercatat Sepanjang Aliran Sungai Cimanuk yang Terlupakan

Pacaduan atau tabu, yaitu perbuatan yang dilarang dilakukan berdasarkan amanat leluhur. Istilah “cadu tujuh turunan” merupakan contoh kata-kata mengenai “tabu” atau “pacaduan” itu.

 Di sepanjang aliran Sungai Cimanuk, terdapat “pacaduan” berupa mengucapkan kata-kata “sompral” (kasar, memaki, menghina). Juga “cadu” berupa perbuatan melakukan sesuatu di tempat-tempat tertentu.

Seperti pernah disinggung di atas, di kawasan Leuwi Gombong, terdapat “pacaduan”, jika pegawai negeri datang ke sana, baik memancing atau sekedar bermain, akan kehilangan kedudukannya.

Baca Juga: Dampak COVID-19 Jumlah Pengaduan ke Disnaker Depok Meningkat Didominasi Korban PHK

Pacaduan itu bermula, pada tahun 1920-an, ada seorang aparat pemerintah, yang sedang asyik memancing, melihat seorang wanita menyeberang tidak jauh dari tempatnya.

Aparat itu tergiur melihat paha penyeberang yang kainnya tersingkap ke atas. Maka begitu sampai ke pinggir, wanita itu disergap dan diperkosa.

Versi lain, dibunuh karena melawan.
Sejak saat itu, muncullah “pacaduan” yang dilontarkan seorang tetua setempat. Leuwi Gombong “cadu” didatangi pejabat.

Baca Juga: Dampak COVID-19 Jumlah Pengaduan ke Disnaker Depok Meningkat Didominasi Korban PHK

Juga “pacaduan” setiap wanita penduduk di situ, “cadu” menyeberang di Leuwi Gombong.
Padahal, sebelum terjadi peristiwa memalukan dan memilukan, Leuwi Gombong menjadi lokasi pavorit Kangjeng Dalem (Garut) untuk “macangkrama”. Menghibur diri bersama anak istri, sanak keluarga, para pembesar dan bawahan, berpesta menangkap ikan.

Pesta rakyat tujuh hari tujuh malam dengan “botram” bakar, cobek, dan pepes ikan Cimanuk yang gurih lezat.

Pacaduan lain berupa ucapan, konon terjadi tahun 1950-an. Seorang pemancing yang sial, mencangkung hingga pagi dan petang, marah-marah.

Baca Juga: KPK Periksa Tiga Saksi Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan RTH di Pemkot Bandung

Memukul-mukulkan pancing ke permukaan sungai sambil mencaci maki seluruh isi Sungai Cimanuk. Kata-kata “haram jadah”, “goblog” dan sejenisnya terlontar tanpa sadar.

Menganggap Sungai Cimanuk miskin dan kikir. Sehingga tak ada seekor ikan pun tertangkap oleh pancingnya.
Tiba-tiba, di tengah keremangan senja, air lubuk Sungai Clmanuk, bergolak. Seperti mendidih. Menimbulkan bunyi gemuruh.

Dan dari tengah lubuk, muncul seekor ikan hitam sebesar “lisung”. Kepalanya berduri. Matanya menyala. Mulutnya terbuka. Menampakkan gigi-gigi runcing siap menerkam.

Baca Juga: Polisi Sambangi Rumah Warga di Karawang Agar Disiplin Terapkan Protokol Kesehatan

Pemancing yang sedang marah-marah itu, terkejut luar biasa. Secara refleks, segera berlari. Naik ke tebing. Hingga napasnya tersengal-sengal.

la terkapar di situ. Baru diketemukan beberapa jam kemudian oleh orang-orang yang akan memancing malam hari.
Pemancing sial itu, sakit keras hingga berbulan-bulan.

Ia menderita “soak” (trauma). Bahkan nyaris gila. Terlontarlah ucapan “cadu nyarita suaban dl Cimanuk” (tabu mengucap kata-kata tak karuan di Sungai Cimanuk).

“Pacaduan” tersebut berlaku hingga sekarang, di semua tempat di lubuk-lubuk Sungai Cimanuk.***

 

Editor: Popi Siti Sopiah

Sumber: Berbagai Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah