Bukhori Yusuf Minta Pasal yang Memberatkan PIHU Dicabut

1 November 2020, 20:23 WIB
Jamaah Haji dan umrah di depan Multazam /

MEDIA PAKUAN-Anggota Badan Legislasi DPR RI, Bukhori Yusuf menyampaikan keluhan sejumlah asosiasi penyelenggara ibadah haji dan umrah (PIHU) terkait aturan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Pidana kurungan hingga 10 tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar dalam Bab III Bagian Empat, Paragraf 14 tentang Keagamaan pasal 125 dan 126 sangat memberatkan bagi PIHU.

Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) dan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umroh (PPIU) dapat juga dikenakan sanksi administratif sekaligus oleh aparat penegak hukum, sesuai bunyi pasal 118A dan pasal 119A, sehingga sanksi yang diterima nanti pun berlapis-lapis.

"Berat sekali konsekuensinya (bagi PIHK dan PPIU) bila kedua sanksi dikenakan sekaligus, yakni denda administratif bahkan ditambah hukuman penjara maksimal 10 tahun,” kata Bukhori dalam keterangan tertulisnya Minggu 1 November 2020 sebagaimana disadur dari PRFMNews yang dilansir dari ANTARA.

Baca Juga: Subang jadi Daerah Terbaik Tangani Covid 19 di Indonesia

Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jateng I itu menyarankan agar pasal pidana UU Cipta Kerja tersebut sebaiknya dicabut saja agar tidak membuka ruang spekulasi bagi para penegak hukum.

“Dengan melihat fakta bahwa ancaman hukuman dalam UU Cipta Kerja ini sifatnya berlapis sehingga memberikan kepastian hukum bagi PIHK dan PPIU sesuai dengan asas keadilan,” pungkasnya.

Dijelaskan, Pasal 118A dan 119A dalam undang-undang itu mencakup sanksi administratif dari yang ringan yaitu berupa denda administratif sampai yang paling berat yakni pencabutan izin usaha.

Selain itu, PIHU juga berkewajiban mengembalikan biaya yang sudah disetor oleh jemaah kepada PPIU dan/atau PIHK serta kerugian bukan materiil lainnya.

Baca Juga: Puncak Arus Menuju Jakarta Libur Panjang Diprediksi Hari Ini

Menurut Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, pasal-pasal 118A dan 119A sesungguhnya memiliki maksud yang baik. Memberikan proteksi kepada jemaah dari praktik penyimpangan pihak penyelenggara ibadah haji/umrah yang merugikan jemaah, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya pada kasus penipuan biro haji dan umrah First Travel.

"Pembentukan pasal tersebut dimaksudkan untuk memberlakukan sanksi pidana untuk menjerat PPIU/PIHK nakal, akan tetapi sangat disayangkan rumusan pasalnya menjadi ambigu karena pasal rujukannya adalah 118A dan 119A yang berisi tindakan yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, kepulangan, dan keterlantaran,” tukasnya.

Namun permasalahaannya kata dia, pasal 125 dan pasal 126 yang menegaskan, PIHK maupun PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 118A dan 119A juga bisa dikenakan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.

“Konsekuensi dari tumpang tindih pasal terkait sanksi itu akan membuka celah bagi terjadinya multitafsir atau pasal karet karena penegak hukum dapat mengenakan sanksi pidana saja atau sanksi administratif dan sanksi pidana sekaligus,” katanya.

Bukhori menganggap, dari segi etika hukum pemberlakuan sanksi berlapis itu pun tidak pada tempatnya alias tidak adil karena melampaui batas kewajaran.

Hal itu karena kedua sanksi tersebut menjerat perusahaan atau lembaga sekaligus pemiliknya di waktu yang sangat bersamaan.

Baca Juga: Empat Provinsi Ini jadi Zona Kasus Kematian Tertinggi Akibat COVID-19

Padahal, pelanggaran pada pasal tersebut tidak termasuk yang pasti menimbulkan kematian.

Bukhori menduga munculnya ambiguitas terkait pengenaan sanksi berlapis untuk satu perbuatan dalam UU itu, sesungguhnya karena ketergesa-gesaan selama proses penyusunan UU Cipta Kerja.

Dia mengklaim pembahasannya saat itu dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI secara terpisah dari PKS, khususnya terkait sanksi pidana pada pasal 125 dan 126 UU Nomor 8/2019 dengan menambahkan batas waktu lima hari.

“Pada mulanya, Fraksi PKS mencermati pasal 68 merupakan concern utama kami, yakni terkait syarat PPIU yang harus kami pastikan adalah WNI dan muslim sebagaimana dalam UU No. 8/2019. Sebab sebelumnya, dalam draf RUU versi 1029 halaman, pemerintah secara gegabah menghapuskan syarat muslim dan WNI tersebut dan menggantinya dengan klausul persyaratan yang ditetapkan Pemerintah Pusat,” kata Bukhori.

Baca Juga: Gempa Guguran Merapi Terus Terjadi, BPPTKG Tetapkan Level Waspada

Fraksi PKS bersikeras untuk mempertahankan syarat semula hingga akhirnya berhasil terakomodir kendati harus melalui proses pembahasan yang alot di Baleg.

“Sebagai konsekuensi, di UU Cipta Kerja yang terbaru kemudian memunculkan pasal tambahan, yakni pasal 118A dan 119A sebagai pasal sisipan,” kata Bukhori.

“Kedua pasal yang mengatur pengenaan sanksi administratif ini ternyata memiliki kaitan dengan pasal 125 dan 126 terkait sanksi pidana sehingga memunculkan potensi sanksi berlapis,” ujarnya

Lebih lanjut, Anggota Komisi VIII DPR RI itu menilai konstruksi berpikir untuk melakukan perlindungan bagi jemaah melalui regulasi baru ini sesungguhnya sudah baik.

Munculnya potensi pasal kontroversial tersebut justru akan menimbulkan permasalahan baru.

Baca Juga: Pandemi COVID-19 di Indonesia Diperkirakan tidak akan Berakhir Dalam Waktu Dekat

“Kami juga mengamini bahwa bagi pihak penyelenggara umrah dan haji yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan sebenarnya sudah masuk dalam ketentuan pidana,” ungkapnya.

Artikel ini disadur dari PRFMNews.com judul “Anggota DPR: Penyelenggara Haji dan Umrah Keluhkan Pidana UU Cipta Kerja”.***

Editor: Hanif Nasution

Sumber: Prfmnews

Tags

Terkini

Terpopuler