Pertanyakan Konsisten Parpol Tentang RUU Pemilu, Mohamad Muraz: Kok Sekarang Mereka jadi pada Nolak?

- 3 Februari 2021, 14:45 WIB
ilustarasi Pemilihan Umum.
ilustarasi Pemilihan Umum. /Pixabay/Felipe Blasco
 
MEDIA PAKUAN - Rapat paripurna DPR beberapa waktu lalu telah telah menyepakati Rancangan UU tentang Perubahan atas UU nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai prioritas.
 
Seluruh fraksi di DPR sepakat RUU tersebut masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas. 
 
Begitu juga dengan pembahasan daftar prolegnas prioritas 2021 di Badan Legislasi (Baleg) juga disepakati oleh seluruh fraksi.
 
 
Namun belakangan ini terdapat lima fraksi yang menolak pembahasan RUU tersebut, dengan alasan karena beberapa poin yang terkandung didalamnya.
 
Anggota Komisi II DPR dari fraksi partai Demokrat Mohamad Muraz mempertanyakan konsistensi parpol di DPR yang menolak bahas RUU Pemilu.
 
“Yang ngetuk palu Prolegnas siapa? Kok sekarang mereka jadi pada nolak? ada apa?” kata Muraz,  dikutip Media Pakuan dari situs fraksi Demokrat, Rabu, 3 Februari 2021.
 
 
Ia menyebutkan bahwa ada lima fraksi yang menolak pembahasan RUU Pemilu yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PAN dan PPP. 
 
Sementara empat fraksi lainnya yakni Nasdem, PKB, Partai Demokrat, dan PKS, sepakat untuk membahas RUU Pemilu.
 
Lebih lanjut Muraz menjelaskan, seluruh fraksi di DPR sepakat RUU Pemilu masuk daftar prolegnas prioritas 2020 dan 2021 dengan berbagai pertimbangan.
 
 
Pertama, apabila Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan pada 2024, maka KPU akan mengalami kerepotan seperti yang terjadi di Pemilu 2019. 
 
Ketika itu Pileg dan Pilpres digelar bersamaan mengakibatkan ratusan petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan bekerja selama 24 jam.
 
“Kita bisa membayangkan kalau Pileg, Pilpres dan Pilkada disatukan. Nah ini akan seperti apa,” ujarnya.
 
 
Kedua, bisa saja Pilkada dan Pilpres tidak digelar bersamaan namun tetap di gelar pada 2024 seperti yang di atur dalam UU Pemilu dan UU Pilkada saat ini. 
 
Menurutnya, seperti ini juga tetap saja merepotkan KPU karena waktunya akan beririsan antara Pileg, Pilpres dan Pilkada.
 
Muraz berpendapat parpol akan kerepotan karena baru saja menyiapkan untuk Pileg dan Pilpres, parpol harus berpikir lagi untuk menyiapkan para calon kepala daerah dan wakilnya untuk Pilkada.
 
 
“Sehingga ini dikhawatirkan kualitas dari demokrasi akan menurun,” tuturnya.
 
Ketiga, terjadi banyak penunjukan pejabat sementara (plt) kepala daerah dengan tenggang waktu yang cukup lama bisa lebih dari 2 tahun. 
 
Ia menilai hal itu akan mengganggu kinerja pemerintahan, karena Plt yang ditunjuk misalnya dari Kemendagri atau dari pejabat di tingkat provinsi, kerjanya tidak fokus dengan rangkap jabatan.
 
 
Belum lagi, lanjut Muraz, kepala daerah definitif itu berbeda karakter dan kewenangannya dalam melaksanakan pemerintahan. 
 
Mantan Wali Kota Sukabumi memahami betul bagaimana karakter kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dengan yang tidak langsung dipilih rakyat.
 
“Tentu yang ditunjuk ini mungkin tidak akan terlalu berpikir tentang tanggungjawab yang lebih besar terhadap masyarakat," tandasnya. 
 
Kemudian yang terakhir, kepala daerah yang terpilih pada Pilkada serentak 2017, 2018 dan 2019, masa jabatannya kurang dari 5 tahun apabila Pilkada serentak berikutnya digelar di 2024.
 
 
"Ini kan cukup merugikan untuk para kepala daerah tadi. Ini perlu dipertimbangkan," tegasnya.
 
Tidak adanya konsistensi parpol yang menolak pembahasan RUU Pemilu tersebut akan menjadi preseden buruk dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
 
"Jadi RUU Pemilu ini memang sebaiknya ditinjau kembali, pilkada sebaiknya tetap terpisah dengan Pilpres dan Pileg," pungkasnya.*** Samsun Ramlie.

Editor: Adi Ramadhan

Sumber: Fraksi Demokrat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x